Senin, 22 Agustus 2016
Tiket sudah di
tangan dan siap cus ke Jakarta buat ngurus Sperrkonto Deutsche Bank di Kedutaan
Jerman urusan Konsuler. Rasanya excited soalnya mau ketemu mama papa di kereta.
Dan yeah, singkat cerita tengah malem aku peluk cium sama mereka di kereta. Huhuhuu.
Ketika arti rumah terasa puluhan kali lebh berharga meskipun hanya di atas
kereta. #ceritaanakLDR
Yap, aku masih
harus didampingi orang tua untuk mengurus Deutsche Bank dan Visa karena aku
masih dibawah 18 tahun. Sudah
dianggap dewasa di Indonesia tapi belum untuk urusan ini. Hikshiks.
Selasa, 23 Agustus 2016
Sekitar jam 5
kereta sampai di Gambir. Huff masih ada waktu. Kedutaan kan buka jam 07.30.
Setelah cuci muka, sikat gigi, dan sarapan, pergilah kami ke kedutaan.
Lokasinya di Jl. MH Thamrin, deketnya Bundaran HI. Untungnya jalanan ibukota
nggak terlalu ramai. Tapi ternyata ketika kami sampai, antreannya sudah
menumpuk di pintu gerbang.
Setelah melalui
berbagai macam pemeriksaan keamanan, kami mengantre di bagian Konsuler. Dari
tempat pemeriksaan tinggal lurus aja melewati pintu kaca, tidak usah naik
tangga. Kalau naik, itu adalah Kedutaan, tempat untuk mengurus Visa.
Entah kenapa sejak
masuk ke tempat itu, rasanya dagdigdug gimanaa gitu. Tibalah giliranku untuk
menemui petugas. Setelah mengungkapkan tujuanku – yaitu membuat Sperrkonto –
petugas memeriksa semua dokumenku.
Dokumennya adalah
sebagai berikut:
-
Form
(yang seharusnya belum ditanda tangani)
-
Paspor
(asli dan fotokopi)
-
Bukti
penerimaan dari sekolah bahasa/universitas/STK
-
Bukti
sumber dana: Bank statement+Rekening koran
-
Akte
kelahiran (asli dan fotokopi terjemahan) -> untuk di bawah 18 tahun
-
Identitas
orang tua (asli dan fotokopi) -> untuk di bawah 18 tahun
Well, aku
bermasalah. Formku sudah ditanda tangan orang tuaku. Ada miss-com
antara aku dan orang tuaku. Aku email dan minta tolong mereka untuk print di rumah. Yeah, bukan masalah
besar pikirku. Aku bisa
mencetak ulang di fotokopi terdekat. Namun saat petugas memeriksa identitas
orang tua dan akteku, muncullah masalah yang lebih besar. Di akte kelahiranku, papaku menggunakan
nama gelar, tapi di paspor tidak. Perbedaan nama ini ternyata menjadi masalah.
Di Jerman, beda 1 huruf pun akan dianggap 2 orang yang berbeda.
Oke fix. Aku ditolak. *seketika langsung pusing*
Solusi dari
permasalahanku ada 2: Papa mengganti semua kartu identitas atau meminta surat
keterangan dari kelurahan bahwa nama yang berbeda di akte, paspor dan KTP adalah orang yang sama. Kami
memilih solusi ke-2 dan memutuskan untuk mengurus di Konsulat Surabaya 1 minggu
kemudian (Itu besok btw. Doain ya gaes T.T)
Daripada
pulang dengan tangan kosong, aku memutuskan untuk melegalisir dokumen (ijasah,
SKHU, rapor terjemahan) pada saat itu. Ternyata aku salah mengerti juga dalam hal ini. Yang dilegalisir bukanlah
dokumen yang ada cap asli dari penerjemah, melainkan fotokopinya. Yap, aku
harus fotokopi dulu. Aku fotokopi di graha mandiri sebanyak 10 eksemplar lalu
kembali dan melegalisir. Biayanya
per eksemplar €10 alias Rp.150.000. Pelajar mendapatkan gratis legalisir 5
eksemplar. Karena aku melegalisir 10 eksemplar, jadi aku membayar Rp.750.000.
Tips: Ada 2 tempat fotokopi di dekat kedutaan: Graha Mandiri dan Mandarin Oriental. Menurut informasi, lebih murah di Graha Mandiri.
Akhirnya
dengan penuh ketabahan (alay sih) (tapi emang sedih abis ditolak), aku dan
orang tua menuju ke bandara. Kami bertiga menuju 3 kota yang berbeda dan jam flight yang berbeda juga. Kami
duduk bersama dan menghabiskan waktu sebelum aku berpisah lagi dengan mereka.
Surabaya, 28
Agustus 2016
Sambil menanti
besok untuk berjumpa lagi (dengan orang tua dan petugas Konsulat)
No comments:
Post a Comment