Sunday, 28 August 2016

MEIN WEG #2: MENGURUS DB DAN DITOLAK

Senin, 22 Agustus 2016
Tiket sudah di tangan dan siap cus ke Jakarta buat ngurus Sperrkonto Deutsche Bank di Kedutaan Jerman urusan Konsuler. Rasanya excited soalnya mau ketemu mama papa di kereta. Dan yeah, singkat cerita tengah malem aku peluk cium sama mereka di kereta. Huhuhuu. Ketika arti rumah terasa puluhan kali lebh berharga meskipun hanya di atas kereta. #ceritaanakLDR
Yap, aku masih harus didampingi orang tua untuk mengurus Deutsche Bank dan Visa karena aku masih dibawah 18 tahun. Sudah dianggap dewasa di Indonesia tapi belum untuk urusan ini. Hikshiks.

Selasa, 23 Agustus 2016

Sekitar jam 5 kereta sampai di Gambir. Huff masih ada waktu. Kedutaan kan buka jam 07.30. Setelah cuci muka, sikat gigi, dan sarapan, pergilah kami ke kedutaan. Lokasinya di Jl. MH Thamrin, deketnya Bundaran HI. Untungnya jalanan ibukota nggak terlalu ramai. Tapi ternyata ketika kami sampai, antreannya sudah menumpuk di pintu gerbang.
Setelah melalui berbagai macam pemeriksaan keamanan, kami mengantre di bagian Konsuler. Dari tempat pemeriksaan tinggal lurus aja melewati pintu kaca, tidak usah naik tangga. Kalau naik, itu adalah Kedutaan, tempat untuk mengurus Visa.
Entah kenapa sejak masuk ke tempat itu, rasanya dagdigdug gimanaa gitu. Tibalah giliranku untuk menemui petugas. Setelah mengungkapkan tujuanku – yaitu membuat Sperrkonto – petugas memeriksa semua dokumenku.

Dokumennya adalah sebagai berikut:
-          Form (yang seharusnya belum ditanda tangani)
-          Paspor (asli dan fotokopi)
-          Bukti penerimaan dari sekolah bahasa/universitas/STK
-          Bukti sumber dana: Bank statement+Rekening koran
-          Akte kelahiran (asli dan fotokopi terjemahan) -> untuk di bawah 18 tahun
-          Identitas orang tua (asli dan fotokopi) -> untuk di bawah 18 tahun
(Lengkapnya bisa di lihat dalam file form di sini)

Well, aku bermasalah. Formku sudah ditanda tangan orang tuaku. Ada miss-com antara aku dan orang tuaku. Aku email dan minta tolong mereka untuk print di rumah. Yeah, bukan masalah besar pikirku. Aku bisa mencetak ulang di fotokopi terdekat. Namun saat petugas memeriksa identitas orang tua dan akteku, muncullah masalah yang lebih besar. Di akte kelahiranku, papaku menggunakan nama gelar, tapi di paspor tidak. Perbedaan nama ini ternyata menjadi masalah. Di Jerman, beda 1 huruf pun akan dianggap 2 orang yang berbeda.
Oke fix. Aku ditolak. *seketika langsung pusing*
Solusi dari permasalahanku ada 2: Papa mengganti semua kartu identitas atau meminta surat keterangan dari kelurahan bahwa nama yang berbeda di akte, paspor dan KTP adalah orang yang sama. Kami memilih solusi ke-2 dan memutuskan untuk mengurus di Konsulat Surabaya 1 minggu kemudian (Itu besok btw. Doain ya gaes T.T)
Daripada pulang dengan tangan kosong, aku memutuskan untuk melegalisir dokumen (ijasah, SKHU, rapor terjemahan) pada saat itu. Ternyata aku salah mengerti juga dalam hal ini. Yang dilegalisir bukanlah dokumen yang ada cap asli dari penerjemah, melainkan fotokopinya. Yap, aku harus fotokopi dulu. Aku fotokopi di graha mandiri sebanyak 10 eksemplar lalu kembali dan melegalisir. Biayanya per eksemplar €10 alias Rp.150.000. Pelajar mendapatkan gratis legalisir 5 eksemplar. Karena aku melegalisir 10 eksemplar, jadi aku membayar Rp.750.000.
Tips: Ada 2 tempat fotokopi di dekat kedutaan: Graha Mandiri dan Mandarin Oriental. Menurut informasi, lebih murah di Graha Mandiri.
Akhirnya dengan penuh ketabahan (alay sih) (tapi emang sedih abis ditolak), aku dan orang tua menuju ke bandara. Kami bertiga menuju 3 kota yang berbeda dan jam flight yang berbeda juga. Kami duduk bersama dan menghabiskan waktu sebelum aku berpisah lagi dengan mereka.

Surabaya, 28 Agustus 2016
Sambil menanti besok untuk berjumpa lagi (dengan orang tua dan petugas Konsulat)


No comments:

Post a Comment